Nilai Budaya Menundukkan Ego Mayoritas

 


Oleh: M. Maghfur Qumaidi

Toleransi dan sikap terbuka telah menjadi budaya masyarakat Bali sejak lama, bahkan mungkin bersamaan dengan adanya masyarakat Bali itu sendiri Menurut beberapa sumber, bahwa agama-agama yang ada di pulau Bali bisa hidup berdampingan. Mereka bisa saling menghormati dan memahami setiap keyakinan yang dipeluk oleh orang lain.

Masyarakat yang berbeda keyakinan saling bahu membahu  dalam beraktivitas, bahkan terkait dengan upacara keagamaan. Ada kejadian yang sangat menarik ketika agama Islam melaksanakan shalat Idul Fitri, bersamaan dengan hari besar agama Nasrani. Pemeluk agama Nasrani rela mengundurkan waktunya, karena memahami bahwa pelaksanaan shalat Id waktunya harus tepat dan tidak dapat ditunda. Demikian pula masyarakat Hindu memahami tentang makanan apa yang tidak boleh dimakan oleh umat Islam. Maka dalam upacara keagamaan makanan yang diantar pada orang lain yang berkeyakinan muslim juga menyesuaikan.


 Umat Hindu tidak memberikan makanan yang mengandung unsur babi, karena memahami bahwa bahwa babi tidak boleh dikonsumsi oleh umat muslim.

Demikian pula ketika terjadi hari raya Nyepi, dalam ajaran Hindu, umat Islam juga menyesuaikan untuk tidak menyalakan lampu.

Namun, ada hal yang lebih penting dari itu selain agama terdapat konsep ideal hidup bermasyarakat di Bali sebagai filosofi dari karma marga yang bersumber dari sistem nilai budaya dan adat istiadat masyarakat Bali untuk dapat hidup rukun. Menyama braya di sini juga memiliki makna plural, yakni menghargai perbedaan dan menempatkan orang lain sebagai keluarga.

Dengan nilai-nilai budaya tersebut, masyarakat pulau Dewata, meski mereka mempunyai keyakinan yang berbeda tidak mengagungkan ego mayoritas, dan menganggap bahwa kerena mayoritas harus diutamakan, dan merasa paling dihormati.

Post a Comment

Previous Post Next Post